Kiat merespons turbulensi eksternal

Isu pertikaian politik dunia ternyata kalah menarik dibandingkan dengan pemberitaan mengenai kesibukan berbagai negara melakukan penyesuaian ekonomi guna menghadapi badai perekonomian global. Badai itu dipicu oleh krisis energi dunia, serta berimplikasi luas dan cepat ke sektor pangan, dan pasar modal.

Ketika The Fed sibuk merevisi target pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat menjadi 1,3%-2,0% pada 2008, IMF pun seperti tak mau ketinggalan menurunkan proyeksi pertumbuhan negara itu dari 2,2% menjadi 1,5%.

China pun, yang dijadikan tumpuan harapan sebagai mesin pencerah ekonomi dunia saat resesi melanda AS, terpaksa menurunkan target pertumbuhannya menjadi 9,6%-10,4% dari sebelumnya 11,4%.

Tidak cukup sekadar merevisi. Pemerintah di negara maju pun menyerukan masyarakatnya agar memaksimalkan penggunaan produk domestik dan mengurangi ketergantungan pada barang impor.

Bagaimana dengan Indonesia? Untuk merespons dinamika perubahan eksternal, negeri ini sigap melakukan sembilan strategi pengamanan fiskal.

Saat ini, pemerintah terpaksa bongkar pasang APBN dengan memotong belanja 15%, mengubah berbagai asumsi makroekonomi, dan merevisi pertumbuhan menjadi 6,2%-6,5% dari 6,5%- 7,0%. Bahkan di tengah pembahasan RAPBN-P 2008, harga minyak mentah dunia sempat menyentuh level US$110 per barel.

Seandainya APBN disahkan, mungkin terpaksa 'dipasung' untuk mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan stabilisasi pangan, akibat lonjakan harga minyak mentah dunia dan� pangan.

Kenaikan harga sumber energi itu tentu akan memicu lonjakan harga komoditas lain-termasuk pangan, input produksi, dan biaya logistik -yang pasti membuat pasokan industri domestik menghadapi pelemahan daya saing.

Sudah menjadi kebiasan di negeri ini jika harga satu produk dinaikkan, tidak mudah untuk diturunkan lagi.

Alhasil, posisi tawar output industri domestik menghadapi disparitas harga yang semakin lebar di tengah kondisi ekstrem daya saing suplai internasional di pasar global maupun lokal.

Ini tantangan klasik yang harus diterobos jika kita ingin menarik manfaat� dari Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015.

Ekonomi kerakyatan dengan kekuatan UMKM yang dependable, kebijakan moneter dan fiskal yang prudent, dan fokus penanggulangan pengangguran dan kemiskinan menjadi pilihan reformasi ekonomi.

Buahnya, makroekonomi bagus dan paket kebijakan masih terus menterapi kelesuan sektor riil.

Namun, kita menyaksikan aktivitas ekonomi nasional masih fragile, cukup rentan terhadap kondisi eksternal. Dengan sederhana bisa dikatakan kita memang hidup di era globalisasi.

APBN terpasung

Karena turbulensi masih akan terjadi, apakah APBN yang selalu harus kita pasung dan kebijakan fiskal yang menjadi pain killer untuk meredam setiap gejolak eksternal, bahkan internal?

Fundamental ekonomi Indonesia sejatinya relatif bagus dibandingkan dengan kondisi pada 1998. Namun, harus diakui memang setiap kali terjadi turbulensi, kebijakan dadakan selalu muncul, sehingga mengesankan kita hanya mengobati simptom dan cuma punya obat generik, instrumen fiskal, seperti pajak, bea masuk, dan subsidi.

Masih segar dalam ingatan kita saat harga pangan dan minyak mentah mulai melonjak pada pertengahan 2007 hingga saat ini. Lagi-lagi kebijakan fiskal yang menjadi instrumen peredam gejolak di pasar domestik. Kebijakan sektor lain seperti disfungsi, tidak ada kreativitas, faktor fundamental produksi pangan seperti tanah, air, benih seperti sudah menjadi mustahil.

Kebijakan tata niaga menjadi senjata kedua setelah fiskal. Instrumen perdagangan pun menjadi tidak inovatif menghadapi dinamika pasar.

Hak pilihan dan aksesibilitas konsumen sering terlupakan. Banyak yang rabun melihat persoalan sekarang, sebenarnya lebih pada penanggulangan praktik lapangan daripada tataran kebijakan yang konvensional itu.

Kebijakan terbaru, misalnya, paket stabilisasi harga pangan untuk minyak goreng di antaranya melanjutkan kebijakan PPN yang ditanggung pemerintah.� (lihat tabel).

Banyaknya biaya subsidi yang harus ditanggung pemerintah adalah wajar. Di negara mana pun demikian, bahkan wajar bila pemerintah 'terpaksa' harus menunjuk BUMN untuk menguasai pengadaan dan penyaluran pangan, termasuk mengimpornya.

Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan pangan oleh pemerintah secara psikologis membuat masyarakat dan produsen merasa aman, karena spekulasi mudah diawasi. Bahkan sangat masuk akal pendapat yang memilih pemberian subsidi langsung kepada masyarakat untuk membeli pangan dalam kondisi biaya logistik mahal seperti saat ini.

Mungkin sudah saatnya BUMN juga diberikan kesempatan sebesar-besarnya memainkan perannya bagi kepentingan masyarakat. Pilih saja beberapa BUMN untuk diberikan keleluasaan dalam pengembangan usaha, penyetoran dividen, dan insentif untuk menjadi pemain pasar internasional.��

Kita tahu barang impor murah selalu tidak berarti selundupan. Barang impor murah bisa karena memang efisiensinya tinggi, dukungan perbankan negara pengekspor memberikan peluang untuk menjual secara konsinyasi.

Jadi, menghadapi barang impor, kita tidak perlu menerapkan kebijakan protektif, optimalkan efektivitas instrumen yang dihalalkan internasional seperti antipenyelundupan, antidumping, antisubsidi, antipelarian pasar, antipenggangguan konsumen, antipemalsuan, dan antimanipulasi keterangan asal barang.

Rupiah berdaulat

Hal yang cukup penting adalah membuat mata uang rupiah lebih berdaulat di negeri ini. Pasalnya, kinerja� rupiah saat ini relatif sama kuat bila disejajarkan dengan mata uang negara lain.

Kita mungkin bisa mengatakan saat ini kurs rupiah hampir sepadan dengan perkembangan nilai mata uang mitra dagang. Oleh sebab itu, kini saat yang tepat untuk berani menggunakan rupiah dalam bertransaksi di Indonesia.

Hal ini dimulai dalam transaksi jual beli barang dan jasa, seperti tarif hotel, kontrak migas dalam negeri, dan utang.
Meski kebebasan membuat kontrak dijamin oleh UU, terasa aneh jika masih banyak kontrak yang dibuat di Indonesia, dan juga oleh sesama perusahaan Indonesia, menggunakan nilai� bukan rupiah. Sebagai contoh, penandatanganan perjanjian jual beli dan pengangkutan gas antara PGN dan PLN pada 17 Juli 2007. PGN akan menjual 50 MMSCFD gas selama lima tahun seharga US$4,5 per MMBTU selama dua tahun.

Pada gilirannya sesama perusahaan nasional harus melakukan penghitungan dan pembayaran nilai dua kali yang tentu menjadi tidak sederhana dan menimbulkan beban cost of money.

Proteksi impor habis-habisan yang populer di banyak negara dalam menghadapi resesi ekonomi dunia pada awal 1980-an pasti tidak tepat lagi sebagai kiat menghadapi turbulensi perjalanan ekonomi sekarang. Tidak juga kebijakan fiskal menjadi obat generik untuk semua penyakit kegiatan ekonomi.

Oleh Edy Putra Irawady
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan

Tidak ada komentar: